Oleh Imanuel Kristo
Ketika Anda membaca judul di atas, saya pastikan akan ada begitu banyak komentar yang dimunculkan. Jika “ya” berarti judul yang saya tampilkan mampu membuat Anda bertanya-tanya, membuat Anda penasaran. Dan jika Anda penasaran, saya pastikan kalau Anda akan membaca tulisan ini.
Bukankah merencanakan perbuatan baik itu juga baik-baik saja? Saya tidak pernah mengatakan merencanakan perbuatan baik itu salah. Tetapi, yang hendak saya katakan adalah perbuatan baik itu lahir dari ketulusan, perbuatan baik itu tanpa pamrih, keluar begitu saja dalam bentuk tindakan.
Perbuatan baik itu ke luar dari kedalaman hati kita dan kembali pada kedalaman hati kita. Perbuatan baik yang sejati tidak pernah berpikir untuk mendapatkan balasan. Karena itu, perbuatan baik itu spontan, perbuatan baik itu tanpa perencanaan dan tidak perlu direncanakan. Segala sesuatu yang kita rencanakan pastilah mempunyai tujuan. Seorang pelajar merencanakan jadwal belajar selama masa ulangan umum, tujuan dari semua itu adalah agar dia mendapatkan nilai-nilai yang baik.
Seorang pemuda merencanakan pencapaian dalam lima tahun mendatang untuk pekerjaan yang ditekuninya, tujuan dari semua itu adalah kenaikan jenjang dan pendapatan. Sebuah keluarga merencanakan mengambil cuti tahun depan, mereka mempersiapkan segala sesuatunya, semua itu dilakukan dengan tujuan pada saatnya dapat menikmati waktu cutinya dengan menyenangkan.
Dengan demikian hati-hatilah dengan merencanakan perbuatan baik, salah-salah perbuatan baik itu bukan lagi menjadi perbuatan baik yang tulus. Bukan tidak mungkin di balik perbuatan baik yang kita rencanakan sesungguhnya kita sedang berharap mendapatkan sesuatu bagi diri kita sendiri dan demi kepentingan kita sendiri.
Merencanakan perbuatan baik supaya kita mendapat, semakin kita merencanakan semakin berharap mendapatkan lebih dari perbuatan baik. Jika kita melakukan perbuatan baik yang demikian, kita tidak pernah mendapatkan makna apa-apa dari dalamnya.
Perbuatan baik yang demikian hanya indah tampak luarnya, namun sesungguhnya tidak ada bedanya dengan sebuah kejahatan. Kita berbuat baik bagi seseorang, tetapi sesungguhnya itu dilakukan demi untuk diri kita sendiri.
Sekali waktu seorang murid bertanya kepada gurunya: “Guru dapatkah engkau menjelaskan tentang perbuatan baik, seperti apakah itu?”. Mendengar pertanyaan demikian, sang guru menjawab:
“Engkau bertanya tentang berbuat baik, tanyakanlah pada hatimu sendiri! Perbuatan baik jika dilakukan selalu akan mendatang kan ketenangan jiwa, tetapi sebaliknya perbuatan jahat jika dikerjakan senantiasa akan menghadirkan keresahan dan kegelisahan dalam hatimu”.
Marilah memulai perbuatan baik tanpa perencanaan, spontan, dan tanpa pamrih apa-apa. Kita melakukannya saat itu, tetapi juga sekaligus melupakannya pada saat yang sama.
Sumber Tulisan: Suara Pembaruan, Sabtu, 18 Juni 2011.
Sumber Foto: http://allabouthim.info/wp-content/uploads/2010/11/Giving-Bible-Verses-Hands-in-need-r.jpg
Sedikit catatan, renungan, hobi, musik, puisi, kisah, bahkan pertanyaan sehari-hari mengenai apa saja.
Monday, June 20, 2011
Tuesday, June 14, 2011
DONGENG
Waktu SD, saya senang sekali mendengarkan dongeng, baik yang diceritakan ibu/bapak guru di sekolah maupun yang dikisahkan oleh kedua orangtua saya. Selain itu, saya juga gemar membaca dongeng atau cerita-cerita legenda dari majalah anak-anak ataupun buku-buku fiksi anak. Ketika itu, ayah saya berlangganan sebuah majalah anak agar bisa saya baca selagi senggang di rumah. Alasannya, biar saya tidak keluyuran main di luar rumah hehehehe...
Ketika SMP, saat itu sandiwara radio sedang booming. Tentu Anda ingat judul-judul sandiwara radio berikut ini: Saur Sepuh, Tutur Tinular, Mahkota Mayangkara, Naga Sasra dan Sabuk Inten, Kaca Benggala, Karmapala, Babad Tanah Leluhur, Misteri Gunung Merapi, Misteri Nini Pelet, dan sebagainya.Ketika layar televisi belum familiar di tengah-tengah masyarakat, sandiwara radio menjadi hiburan yang mengasyikkan, apalagi kisah-kisahnya sangat lokal atau diadaptasi dengan budaya bangsa Indonesia.
Pernah ketika masih duduk di SMP, ayah saya mengajak menonton film “Saur Sepuh” di sebuah bioskop. Saat itu, film tersebut sedang heboh, sehingga kami kebagian tempat duduk paling depan, pas depan layar, sehingga kami harus memicingkan mata. Bahkan, ada penonton yang rela duduk di karpet lantai bioskop. Hingga sekarang pun, aku masih suka dongeng atau cerita-cerita fiksi. Jika mendengar suatu dongeng, rasanya seperti dibuai, dibawa ke awang-awang, ke negeri antah berantah, bahkan berimajinasi bagai seorang pahlawan, manusia super, dan sebagainya.
Karena suka dengan hal-hal yang berbau fiksi, kadang aku susah sekali membedakan mana yang realitas dan mana yang nonrealitas alias khayalan. Pernah aku berkhayal tentang sebuah rumah mewah bertingkat dua, yang aku pernah lihat di suatu perjalanan. Andaikan aku memliki rumah itu, tentu sangat sukacitanya hidup ini. Hm, mudah-mudahan aku tidak tersesat oleh imajinasi tinggi karena buaian-buaian yang menggoda akibat seringnya mendengarkan dongeng. Apalagi yang menjanjikan hal-hal bisa mengubah diriku menjadi seorang pemenang, manusia super alias superman, bahkan aku takkan pernah kalah dan jatuh.
Bukankah cukup mensyukuri hidup ini apa adanya, aku sudah memenangi hidupku? Bukankah dengan menghadapi hidupku apa adanya aku sudah menjalankan kodratku? Ah, melihat hidup orang lain ibarat kita melihat sebuah rumah mewah dari luar pagar rumah. Walaupun rumah itu kelihatan mewah, kita tidak tahu isi yang ada di dalamnya. Belum tentu di situ berisi barang-barang mahal dan berguna. Bisa jadi rumah itu hanya rumah kosong dan berdebu. Namun, apabila kita melihat rumah kita sendiri, bukankah kita bebas memasukinya? Merasa nyaman walaupun tidur di atas tikar, walaupun hanya petak tiga. Hm, indah bukan?
Sumber foto: http://morfis.files.wordpress.com/2011/03/al-magnus1.jpg?w=600&h=560
Ketika SMP, saat itu sandiwara radio sedang booming. Tentu Anda ingat judul-judul sandiwara radio berikut ini: Saur Sepuh, Tutur Tinular, Mahkota Mayangkara, Naga Sasra dan Sabuk Inten, Kaca Benggala, Karmapala, Babad Tanah Leluhur, Misteri Gunung Merapi, Misteri Nini Pelet, dan sebagainya.Ketika layar televisi belum familiar di tengah-tengah masyarakat, sandiwara radio menjadi hiburan yang mengasyikkan, apalagi kisah-kisahnya sangat lokal atau diadaptasi dengan budaya bangsa Indonesia.
Pernah ketika masih duduk di SMP, ayah saya mengajak menonton film “Saur Sepuh” di sebuah bioskop. Saat itu, film tersebut sedang heboh, sehingga kami kebagian tempat duduk paling depan, pas depan layar, sehingga kami harus memicingkan mata. Bahkan, ada penonton yang rela duduk di karpet lantai bioskop. Hingga sekarang pun, aku masih suka dongeng atau cerita-cerita fiksi. Jika mendengar suatu dongeng, rasanya seperti dibuai, dibawa ke awang-awang, ke negeri antah berantah, bahkan berimajinasi bagai seorang pahlawan, manusia super, dan sebagainya.
Karena suka dengan hal-hal yang berbau fiksi, kadang aku susah sekali membedakan mana yang realitas dan mana yang nonrealitas alias khayalan. Pernah aku berkhayal tentang sebuah rumah mewah bertingkat dua, yang aku pernah lihat di suatu perjalanan. Andaikan aku memliki rumah itu, tentu sangat sukacitanya hidup ini. Hm, mudah-mudahan aku tidak tersesat oleh imajinasi tinggi karena buaian-buaian yang menggoda akibat seringnya mendengarkan dongeng. Apalagi yang menjanjikan hal-hal bisa mengubah diriku menjadi seorang pemenang, manusia super alias superman, bahkan aku takkan pernah kalah dan jatuh.
Bukankah cukup mensyukuri hidup ini apa adanya, aku sudah memenangi hidupku? Bukankah dengan menghadapi hidupku apa adanya aku sudah menjalankan kodratku? Ah, melihat hidup orang lain ibarat kita melihat sebuah rumah mewah dari luar pagar rumah. Walaupun rumah itu kelihatan mewah, kita tidak tahu isi yang ada di dalamnya. Belum tentu di situ berisi barang-barang mahal dan berguna. Bisa jadi rumah itu hanya rumah kosong dan berdebu. Namun, apabila kita melihat rumah kita sendiri, bukankah kita bebas memasukinya? Merasa nyaman walaupun tidur di atas tikar, walaupun hanya petak tiga. Hm, indah bukan?
Sumber foto: http://morfis.files.wordpress.com/2011/03/al-magnus1.jpg?w=600&h=560
Friday, June 10, 2011
Mama Don't You Cry
I fight the tears since you've been gone
And I stand in fear, can I make it on my own
Without your love to guide me thru my life
It's so cold at night without you here
And those gentle arms that held me close and dear
Oh we're all the same, we all live and die
You'll always be in my heart, oh Mama don't you cry
You'll always live in my dreams, oh Mama don't you cry
Every night when I close my eyes
I see a light and shadows of your face
It's always there like an angel over me
So many frozen years hangin' on my wall
A thousand words, I can hear them call
Oh I tried so hard but I could never say goodbye
You'll always be in my heart, oh Mama don't you cry
You'll always live in my dreams, oh Mama don't you cry
No one can kiss away the pain like you
No one like Mama, no one like you
You'll always be in my heart, oh Mama don't you cry
You'll always live in my dreams, oh Mama don't you cry
You'll always be in my heart, oh Mama don't you cry, don't you cry
You'll always live in my dreams, in my dreams, Oh Mama don't you cry, Oh Mama don't you cry
(Diambil dari: http://www.lyricstime.com/steelheart-mama-don-t-you-cry-lyrics.html)
Monday, June 6, 2011
Hukuman versus Ampunan
Aku baru punya satu anak, perempuan, dan umurnya sekarang 3 setengah tahun. Anakku ini sangat aktif. Dia hampir tak bisa diam. Dia diam biasanya kalau sedang tidur. Anakku ini punya kebiasaan melonjak-lonjak (gerakan meloncat ke atas dengan kedua belah kaki bersama-sama) di atas tempat tidur. Selain itu, di rumah opung (mertua saya), ada deretan bangku-bangku untuk para tamu. Dia suka sekali naik ke bangku-bangku itu dan berjalan dari satu bangku ke bangku yang lain.
Selain khawatir apabila terjatuh atau terjungkal ke lantai, kebiasaan anakku ini sangat membuat kesal dan marah istri saya. Setiap kali dia melakukan kebiasaannya, istriku langsung melarang dan menasihati dia. Namun, dia tidak pernah mendengar dan terus asyik dengan kegiatannya. Akhirnya, istriku pun mengambil keputusan untuk memberikan hukuman (tentu saja dengan persetujuanku) apabila anakku itu melakukan kebiasaannya.
Hukuman yang diberikan adalah berdiri di sudut kamar atau ruangan dengan hanya satu kaki, sedangkan kaki yang satunya lagi harus dia angkat. Kemudian kedua tangannya harus memegang telinga kiri dan kanan secara bersilang. Ketika melakukan hukuman ini, anakku akan menangis sejadi-jadinya. Hukuman akan selesai kalau dia berhenti menangis dan berjanji tidak akan mengulangi kebiasaannya..
Namun, apa yang terjadi? Meskipun sudah dihukum, anakku itu tetap melakukan kebiasannya apabila ada kesempatan. Hukuman pun diberlakukan bagi dia jika melakukan hal yang sudah kami larang itu. Demikian seterusnya hingga dia tidak kapok-kapok. Akhirnya, kami frustrasi dan bingung harus bagaimana lagi.
Suatu saat, aku berbincang-bincang dengan istriku untuk mengatasi masalah ini. Setelah kami menyadari bahwa memberinya hukuman tidak akan menyelesaikan masalah, kami pun berusaha memaklumi anak kami yang aktif itu. Karena sebenarnya, anak kami itu tidak tahu apa yang dilakukannya. Bagi dia, melonjak-lonjak dan naik ke atas bangku adalah hal yang menyenangkan. Akan tetapi, bagi kami, itu bisa berbahaya bagi dirinya.
Kami akan mencoba cara lain, yaitu mengampuni semua tindakannya yang selama ini kami larang, karena kami tahu bahwa anak kami itu tidak tahu apa yang dilakukannya. Kami akan berusaha mendidik dia dengan kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri. Kami akan menerima dia apa adanya walupun ada hal-hal yang dilakukannya tidak kami sukai. Tidak ada lagi hukuman, yang ada adalah cinta kasih orangtua kepada anaknya.
Sumber foto: luciamery.blogspot.com
Subscribe to:
Comments (Atom)


